Mahkamah Konstitusi
(MK) membatalkan Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur penyelenggaraan
Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf
Internasional (SBI).
"Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Mahfud MD saat membacakan putusan di Jakarta, Selasa.
Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Sistem Pendidikan berbunyi: "Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional".
Hakim Konstitusi menyatakan memahami konsepsi SBI suntuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Namun menurut mereka amanat Undang-Undang untuk mencerdaskan bangsa tidak semata-mata dilakukan dengan mewajibkan penyediaan fasilitas untuk menghasilkan peserta didik dengan kemampuan setara dengan siswa di negara maju.
"Tetapi pendidikan harus juga menanamkan jiwa dan jati diri bangsa. Pendidikan nasional tidak bisa lepas dari akar budaya dan jiwa bangsa Indonesia," kata Hakim Konstitusi Anwar Usman.
Selain itu, kata Anwar, pembedaan SBI/RSBI dengan sekolah lain dalam hal sarana dan prasarana, pembiayaan maupun output pendidikan akan melahirkan perlakuan berbeda pada sekolah dan siswanya.
"Pembedaan perlakuan demikian bertentangan dengan prinsip konstitusi yang harus memberikan perlakuan yang sama antarsekolah dan antarpeserta didik apalagi sama-sama sekolah milik pemerintah," katanya.
Mahkamah juga menyebutkan bahwa program RSBI/SBI lebih banyak dimanfaatkan oleh siswa dari keluarga kaya. Beasiswa hanya disediakan untuk menampung anak-anak sangat cerdas yang jumlahnya tidak banyak.
"Sehingga anak-anak yang tidak mampu secara ekonomi, yang kurang cerdas karena latar belakang lingkungannya yang sangat terbatas, tidak mungkin bersekolah di SBI/RSBI," kata Anwar.
Padahal pendidikan berkualitas seharusnya bisa dinikmati oleh semua. "Terlebih lagi terhadap pendidikan dasar, sepenuhnya harus dibiayai oleh negara sebagaimana diamanatkan Pasal 31 ayat (2) UUD 1945," kata Anwar.
Menurut Mahkamah, kewajiban pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional juga akan mengikis kebanggaan terhadap bahasa dan budaya nasional.
"Berpotensi mengurangi jatidiri bangsa yang harus melekat pada setiap peserta didik, mengabaikan tanggung jawab negara atas pendidikan, dan menimbulkan perlakuan berbeda untuk mengakses pendidikan yang berkualitas sehingga bertentangan dengan amanat konstitusi."
Pengujian atas Pasal 50 ayat (3) UU Sistem Pendidikan tersebut sebelumnya diusulkan oleh sejumlah orang tua murid dan aktivis pendidikan ke Mahkamah Konstitusi karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
"Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Mahfud MD saat membacakan putusan di Jakarta, Selasa.
Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Sistem Pendidikan berbunyi: "Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional".
Hakim Konstitusi menyatakan memahami konsepsi SBI suntuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Namun menurut mereka amanat Undang-Undang untuk mencerdaskan bangsa tidak semata-mata dilakukan dengan mewajibkan penyediaan fasilitas untuk menghasilkan peserta didik dengan kemampuan setara dengan siswa di negara maju.
"Tetapi pendidikan harus juga menanamkan jiwa dan jati diri bangsa. Pendidikan nasional tidak bisa lepas dari akar budaya dan jiwa bangsa Indonesia," kata Hakim Konstitusi Anwar Usman.
Selain itu, kata Anwar, pembedaan SBI/RSBI dengan sekolah lain dalam hal sarana dan prasarana, pembiayaan maupun output pendidikan akan melahirkan perlakuan berbeda pada sekolah dan siswanya.
"Pembedaan perlakuan demikian bertentangan dengan prinsip konstitusi yang harus memberikan perlakuan yang sama antarsekolah dan antarpeserta didik apalagi sama-sama sekolah milik pemerintah," katanya.
Mahkamah juga menyebutkan bahwa program RSBI/SBI lebih banyak dimanfaatkan oleh siswa dari keluarga kaya. Beasiswa hanya disediakan untuk menampung anak-anak sangat cerdas yang jumlahnya tidak banyak.
"Sehingga anak-anak yang tidak mampu secara ekonomi, yang kurang cerdas karena latar belakang lingkungannya yang sangat terbatas, tidak mungkin bersekolah di SBI/RSBI," kata Anwar.
Padahal pendidikan berkualitas seharusnya bisa dinikmati oleh semua. "Terlebih lagi terhadap pendidikan dasar, sepenuhnya harus dibiayai oleh negara sebagaimana diamanatkan Pasal 31 ayat (2) UUD 1945," kata Anwar.
Menurut Mahkamah, kewajiban pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional juga akan mengikis kebanggaan terhadap bahasa dan budaya nasional.
"Berpotensi mengurangi jatidiri bangsa yang harus melekat pada setiap peserta didik, mengabaikan tanggung jawab negara atas pendidikan, dan menimbulkan perlakuan berbeda untuk mengakses pendidikan yang berkualitas sehingga bertentangan dengan amanat konstitusi."
Pengujian atas Pasal 50 ayat (3) UU Sistem Pendidikan tersebut sebelumnya diusulkan oleh sejumlah orang tua murid dan aktivis pendidikan ke Mahkamah Konstitusi karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar